Senin, 07 Februari 2011

Kenapa bisa cinta?

Pertanyaan ini berulang kali muncul di benakku. Bukan ditujukan kepada individu tertentu, tapi lebih ditujukan kepada kondisi tertentu.
Pekan lalu, setelah diingatkan seorang teman, aku pun menonton Mata Nadjwa. Judul episode kala itu: Sang Negarawan.  Episode ini mengangkat tajuk bagaimana kehidupan 4 tokoh yakni Soekarno, Hatta, Syahrir dan Haji Agus Salim di era terbentuknya bangsa ini.

Secara rinci, digambarkan dalam segala keterbatasan, tokoh ini tetap mempertahankan pengabdian dan kecintaannya kepada Indonesia.  Pertanyaan di atas muncul, tak kala diberitahu Hatta menolak tawaran untuk bekerja di perusahaan asing maupun Indonesia, ketika dia mundur sebagai wakil presiden. Alasannya: "Apa nanti kata rakyat?". Hmm.. konsekuensinya jelas: hidup serba pas-pasan, bahkan untuk ngajak istrinya ngopi dan makan pisang goreng pun, dia pun harus membantu menulis berita seorang wartawan. Upahnya pun hanya 2 rupiah.

Kok mau ya? itu jadi pertanyaan saya. Kenapa dia mau rela hidup apa adanya karena memegang prinsip. Prinsip yang didasari rasa cinta ama bangsa ini.

Iseng-iseng saya pun kirim sms ke beberapa teman. Kenapa lo cinta ma Indonesia?

Hampir semuanya serentak menjawab: identitas. Terlahir, dibesarkan, dan dididik di Indonesia membuat punya ikatan dengan Indonesia. Kesannya terpaksa ya, karena terlahir sebagai warga Indonesia, makanya cinta Indonesia. Tapi engga juga kok.
Kata seorang teman, Eunika, terlahir sebagai orang Indonesia tidak hanya terkait secara fisik, tapi lebih ke arah emosional. Merasa punya tanggung jawab untuk melakukan sesuatu untuk bangsa yang sudah membesarkan kita.


Secara umum, ada juga yang melihat ini sebagai misteri ilahi. Terlahir di Indoensia, membawa kita pada kesadaran, bahwa ada rencana Tuhan yang harus kita emban untuk bangsa ini. Sederhana saja: kalau bukan kita yang bertanggung jawab, siapa lagi yang diharapkan?

Kembali lagi ke Soekarno-Hatta, terasing di luar negeri mungkin bisa menjadi momen penggugah nasionalisme mereka. Christian, adekku, bercerita: mungkin ada energi yang tersembunyi di setiap orang Indonesia yang berhasil di luar. Ada perasaan tetap dianggap sebagai orang asing, walau sehebat apapun di luar negeri sana. Kesadaran bahwa tidak bisa mendeskirpsikan diri dengan jaket asing, membuat mereka bertanya-tanya dan sadar bahwa identitasnya adalah Indoensia.

Aku pun mulai mengenal bangsa ini lebih baik, waktu ikut program di Jerman selama setahun. Kalau aku ditanya kenapa cinta bangsa ini. Mungkin lebih karena ini adalah identitasku. Aku orang Indonesia. Mau sebobrok apapun bangsa ini, aku tetap Indoensia. Sama seperti seorang anak yang tidak bisa memungkiri dirinya anak siapa. Tapi saat mengenal sedikit cerita tentang sejarah bangsa ini lewat karya-karya Pramoedya, aku mulai mengenal bangsa ini sedikit demi sedikit. Bahwa dia tak hanya berisi cerita kebobrokan, tapi berisi mimpi dan harapan suatu bangsa yang besar.

Tapi kenapa banyak yang meninggalkan bangsa ini, justru ketika keadaannya tidak seburuk di era Soe-hatta. Alasannya tentu bisa diperdebatkan lagi. Tapi kalau kita, apa alasan kita mencintai bangsa ini? (TS)

3 komentar:

  1. oh ya,ada juga teman yang nulis jawabannya di blognya. Di www.teabetania.tumblr.com

    BalasHapus
  2. Mungkin banyak orang Indonesia (termasuk diriku???)yang tidak pernah bertanya pada dirinya: Apakah aku mencintai Indonesia? Kalau aku cinta Indonesia, kenapa, seberapa besar dan bagaimana bentuk cintaku pada Indonesia. Hm...Saat kita hanya melihat kekurangan Indonesia maka rasa cinta tidak akan tumbuh, tetapi ketika kita juga melihat kelebihan Indonesia maka rasa cinta itu tumbuh...Tak kenal maka tak sayang....Indonesia...aku masih perlu untuk lebih mengenalmu....

    BalasHapus
  3. Apa yang dimaksud dengan "mencintai Indonesia"?

    Ketika mengacu kepada Indonesia, apakah Indonesia itu; orangnya kah, alamnya, ataukah pemerintahnya?

    Bagaimana kalau Indonesia (sesuatu yang berusaha untuk dicintai itu) tidak pernah menghargai atau bahkan menolak cinta yang coba dinyatakan kepadanya? Akankah itu (layak untuk) terus dicintai?

    BalasHapus