Rabu, 16 Februari 2011

Berbagi itu Indah

Tidak semua orang mau berbagi. Apalagi kalau yang dibagi adalah ilmu. Bukan hal yang langka, kalau kita di dunia kampus atau pun kerja, pernah ketemu ama oknum yang pelitnya minta ampun untuk berbagi ilmu. Atau jangan-jangan malah saya sendiri oknum itu. hehehe...
Apalagi sekarang ini, kita dituntut untuk lebih maju, lebih oke, lebih mantep hasil kerjanya, jadilah makin sulit nemuin orang yang mau berbagi ilmu.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu teman semasa kuliah saya, Lucia Rini. Kami tengah mencari ide cara membangun diri seperti apa yang bisa dilakukan tanpa buang uang. Akhirnya dia nemuin Akademi Berbagi #Akber. Dengan penuh semangat dia berpromosi: "Kita bisa belajar gratis dan pembicara alias gurunya juga orang-orang hebat."

Mendengar dua kata gratis dan hebat, jelas saja saya langsung tertarik. Tunggu apa lagi?! Tanggal 10 Februari 2011, jadilah kelas pertama yang saya ikuti. Kelas Creative dengan Anto Motulz, creative "Jalan Sesama". Kelasnya ber AC, ada snack nya lagi. Jauh dari kesan memprihatikan karena gratisan. Hal yang paling memukau adalah suasana kelasnya yang asyik. Semua orang bisa dan didorong untuk ngungkapin pemikirannya. Pembicaranya alias guru, ga kalah asyik. Mereka melepas stigma tentang guru yang membosankan. Jauh banget dari suasana kelas yang biasanya hening, dengan pikiran pendengar yang berkelana bebas.

Ngga hanya kelas dan gurunya yang asyik. Para murid juga ga kalah asik. Waktu kelar kelas, saya ngobrol-ngobrol sambil makan ama beberapa teman baru. Pembicaraan yang memiliki frekuensi yang sama (istilah dari Kang Anto di kelas..heheh) Ngga nyangka bisa ketemu dengan teman-teman yang asyik membahas semua hal dengan pandangan tak terduga. Ternyata di Akber bukan sekedar berbagi ilmu tapi jadi ajang mempertemukan link-link yang selama ini berjalan sendiri-sendiri. Ini kumpulan orang-orang hebat!

Amat sangat terpukau ama Mba Ainun Chomsun Sang Kepala Sekolah yang punya ide untuk buat Akber dan ngajak para guru untuk berbagi. Terheran-heran kenapa dia mau buat kemudahan ini.
Mungkin alasannya seperti yang ada di tagline Akber kali ya.. Sebab berbagi bikin happy :)

Betul banget. 'Ngga hanya kami yang happy. Tapi saya yakin sang guru pun happy. Paling ga dia happy, karena dia telah memberi secercah pencerahan bagi saya dan murid lainnya. Buktinya, begitu kelas selesai, ada beberapa teman dari Surabaya yang minta agar Akber dibuka di Surabaya. Mendadak tersadar ini salah satu keuntungan tinggal di Jakarta, ada Akber. hehehe..

Jadi ingat ada nasehat yang pernah ku dengar. Berbagilah karena itu bukan hanya membantu orang lain untuk menjadi kaya, tapi itu juga cara untuk terus menajamkan diri. Lagi pula, suatu waktu kita butuh ilmu orang lain, karena apa yang kita tahu sebenarnya terbatas. Dan ya karena berbagi itu bikin happy :) Makasi ya mba kepala sekolah untuk Akbernya :)  Walau hari ini aku ga bisa ikut Akber karena kelas Public Speaking with Prabu Revolusi udah tutup :( (TS)

* bagi yang pengen ikutan kelas bisa langgung follow Akber di @AkademiBerbagi atau daftar aja di http://www.akademiberbagi.detikblog.com/.. Selamat berbagi dan happy :)

*ada juga tempat berbagi yang sejenis namanya "Obrolan Langsat", sayangnya masih di Jakarta juga.

Senin, 07 Februari 2011

Kenapa bisa cinta?

Pertanyaan ini berulang kali muncul di benakku. Bukan ditujukan kepada individu tertentu, tapi lebih ditujukan kepada kondisi tertentu.
Pekan lalu, setelah diingatkan seorang teman, aku pun menonton Mata Nadjwa. Judul episode kala itu: Sang Negarawan.  Episode ini mengangkat tajuk bagaimana kehidupan 4 tokoh yakni Soekarno, Hatta, Syahrir dan Haji Agus Salim di era terbentuknya bangsa ini.

Secara rinci, digambarkan dalam segala keterbatasan, tokoh ini tetap mempertahankan pengabdian dan kecintaannya kepada Indonesia.  Pertanyaan di atas muncul, tak kala diberitahu Hatta menolak tawaran untuk bekerja di perusahaan asing maupun Indonesia, ketika dia mundur sebagai wakil presiden. Alasannya: "Apa nanti kata rakyat?". Hmm.. konsekuensinya jelas: hidup serba pas-pasan, bahkan untuk ngajak istrinya ngopi dan makan pisang goreng pun, dia pun harus membantu menulis berita seorang wartawan. Upahnya pun hanya 2 rupiah.

Kok mau ya? itu jadi pertanyaan saya. Kenapa dia mau rela hidup apa adanya karena memegang prinsip. Prinsip yang didasari rasa cinta ama bangsa ini.

Iseng-iseng saya pun kirim sms ke beberapa teman. Kenapa lo cinta ma Indonesia?

Hampir semuanya serentak menjawab: identitas. Terlahir, dibesarkan, dan dididik di Indonesia membuat punya ikatan dengan Indonesia. Kesannya terpaksa ya, karena terlahir sebagai warga Indonesia, makanya cinta Indonesia. Tapi engga juga kok.
Kata seorang teman, Eunika, terlahir sebagai orang Indonesia tidak hanya terkait secara fisik, tapi lebih ke arah emosional. Merasa punya tanggung jawab untuk melakukan sesuatu untuk bangsa yang sudah membesarkan kita.


Secara umum, ada juga yang melihat ini sebagai misteri ilahi. Terlahir di Indoensia, membawa kita pada kesadaran, bahwa ada rencana Tuhan yang harus kita emban untuk bangsa ini. Sederhana saja: kalau bukan kita yang bertanggung jawab, siapa lagi yang diharapkan?

Kembali lagi ke Soekarno-Hatta, terasing di luar negeri mungkin bisa menjadi momen penggugah nasionalisme mereka. Christian, adekku, bercerita: mungkin ada energi yang tersembunyi di setiap orang Indonesia yang berhasil di luar. Ada perasaan tetap dianggap sebagai orang asing, walau sehebat apapun di luar negeri sana. Kesadaran bahwa tidak bisa mendeskirpsikan diri dengan jaket asing, membuat mereka bertanya-tanya dan sadar bahwa identitasnya adalah Indoensia.

Aku pun mulai mengenal bangsa ini lebih baik, waktu ikut program di Jerman selama setahun. Kalau aku ditanya kenapa cinta bangsa ini. Mungkin lebih karena ini adalah identitasku. Aku orang Indonesia. Mau sebobrok apapun bangsa ini, aku tetap Indoensia. Sama seperti seorang anak yang tidak bisa memungkiri dirinya anak siapa. Tapi saat mengenal sedikit cerita tentang sejarah bangsa ini lewat karya-karya Pramoedya, aku mulai mengenal bangsa ini sedikit demi sedikit. Bahwa dia tak hanya berisi cerita kebobrokan, tapi berisi mimpi dan harapan suatu bangsa yang besar.

Tapi kenapa banyak yang meninggalkan bangsa ini, justru ketika keadaannya tidak seburuk di era Soe-hatta. Alasannya tentu bisa diperdebatkan lagi. Tapi kalau kita, apa alasan kita mencintai bangsa ini? (TS)