Sabtu, 10 September 2011

Terima Kasih

Kau memberiku semua
tawa, harapan, mimpi, semangat dan makna
bahkan cemburu, kecewa, amarah dan frustasi

Sesekali aku menangis
tapi tak lama kau akan memberi penghibur

Kau membantuku meraih asa tapi tkadang mendorongku melepasnya,
Memiliki tak memiliki,
Terpuruk dan bangkit,
Berjuang sendiri, berangkulan bersama

Setiap hari aku bangkit dan menyusuri yang Kau tawarkan
Menapaki hal-hal yang bisa saja pernah kulalui, tapi tetap baru rupanya..

Setiap hari adalah pilihan.
MencintaiMu atau berlari darimu.

Dan aku memilih, ohh semoga saja terus memilih
Hati yang pasrah
menerima, menikmati dan memaknai segala rasamu.
Hati yang terbuka
Mencintai, menghargai dan mensyukuri segala kebaikan dan kekejamanmu.
Hati yang tulus
Untuk terus mengucap terima kasih, padamu..
Hidup..

Rabu, 16 Februari 2011

Berbagi itu Indah

Tidak semua orang mau berbagi. Apalagi kalau yang dibagi adalah ilmu. Bukan hal yang langka, kalau kita di dunia kampus atau pun kerja, pernah ketemu ama oknum yang pelitnya minta ampun untuk berbagi ilmu. Atau jangan-jangan malah saya sendiri oknum itu. hehehe...
Apalagi sekarang ini, kita dituntut untuk lebih maju, lebih oke, lebih mantep hasil kerjanya, jadilah makin sulit nemuin orang yang mau berbagi ilmu.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu teman semasa kuliah saya, Lucia Rini. Kami tengah mencari ide cara membangun diri seperti apa yang bisa dilakukan tanpa buang uang. Akhirnya dia nemuin Akademi Berbagi #Akber. Dengan penuh semangat dia berpromosi: "Kita bisa belajar gratis dan pembicara alias gurunya juga orang-orang hebat."

Mendengar dua kata gratis dan hebat, jelas saja saya langsung tertarik. Tunggu apa lagi?! Tanggal 10 Februari 2011, jadilah kelas pertama yang saya ikuti. Kelas Creative dengan Anto Motulz, creative "Jalan Sesama". Kelasnya ber AC, ada snack nya lagi. Jauh dari kesan memprihatikan karena gratisan. Hal yang paling memukau adalah suasana kelasnya yang asyik. Semua orang bisa dan didorong untuk ngungkapin pemikirannya. Pembicaranya alias guru, ga kalah asyik. Mereka melepas stigma tentang guru yang membosankan. Jauh banget dari suasana kelas yang biasanya hening, dengan pikiran pendengar yang berkelana bebas.

Ngga hanya kelas dan gurunya yang asyik. Para murid juga ga kalah asik. Waktu kelar kelas, saya ngobrol-ngobrol sambil makan ama beberapa teman baru. Pembicaraan yang memiliki frekuensi yang sama (istilah dari Kang Anto di kelas..heheh) Ngga nyangka bisa ketemu dengan teman-teman yang asyik membahas semua hal dengan pandangan tak terduga. Ternyata di Akber bukan sekedar berbagi ilmu tapi jadi ajang mempertemukan link-link yang selama ini berjalan sendiri-sendiri. Ini kumpulan orang-orang hebat!

Amat sangat terpukau ama Mba Ainun Chomsun Sang Kepala Sekolah yang punya ide untuk buat Akber dan ngajak para guru untuk berbagi. Terheran-heran kenapa dia mau buat kemudahan ini.
Mungkin alasannya seperti yang ada di tagline Akber kali ya.. Sebab berbagi bikin happy :)

Betul banget. 'Ngga hanya kami yang happy. Tapi saya yakin sang guru pun happy. Paling ga dia happy, karena dia telah memberi secercah pencerahan bagi saya dan murid lainnya. Buktinya, begitu kelas selesai, ada beberapa teman dari Surabaya yang minta agar Akber dibuka di Surabaya. Mendadak tersadar ini salah satu keuntungan tinggal di Jakarta, ada Akber. hehehe..

Jadi ingat ada nasehat yang pernah ku dengar. Berbagilah karena itu bukan hanya membantu orang lain untuk menjadi kaya, tapi itu juga cara untuk terus menajamkan diri. Lagi pula, suatu waktu kita butuh ilmu orang lain, karena apa yang kita tahu sebenarnya terbatas. Dan ya karena berbagi itu bikin happy :) Makasi ya mba kepala sekolah untuk Akbernya :)  Walau hari ini aku ga bisa ikut Akber karena kelas Public Speaking with Prabu Revolusi udah tutup :( (TS)

* bagi yang pengen ikutan kelas bisa langgung follow Akber di @AkademiBerbagi atau daftar aja di http://www.akademiberbagi.detikblog.com/.. Selamat berbagi dan happy :)

*ada juga tempat berbagi yang sejenis namanya "Obrolan Langsat", sayangnya masih di Jakarta juga.

Senin, 07 Februari 2011

Kenapa bisa cinta?

Pertanyaan ini berulang kali muncul di benakku. Bukan ditujukan kepada individu tertentu, tapi lebih ditujukan kepada kondisi tertentu.
Pekan lalu, setelah diingatkan seorang teman, aku pun menonton Mata Nadjwa. Judul episode kala itu: Sang Negarawan.  Episode ini mengangkat tajuk bagaimana kehidupan 4 tokoh yakni Soekarno, Hatta, Syahrir dan Haji Agus Salim di era terbentuknya bangsa ini.

Secara rinci, digambarkan dalam segala keterbatasan, tokoh ini tetap mempertahankan pengabdian dan kecintaannya kepada Indonesia.  Pertanyaan di atas muncul, tak kala diberitahu Hatta menolak tawaran untuk bekerja di perusahaan asing maupun Indonesia, ketika dia mundur sebagai wakil presiden. Alasannya: "Apa nanti kata rakyat?". Hmm.. konsekuensinya jelas: hidup serba pas-pasan, bahkan untuk ngajak istrinya ngopi dan makan pisang goreng pun, dia pun harus membantu menulis berita seorang wartawan. Upahnya pun hanya 2 rupiah.

Kok mau ya? itu jadi pertanyaan saya. Kenapa dia mau rela hidup apa adanya karena memegang prinsip. Prinsip yang didasari rasa cinta ama bangsa ini.

Iseng-iseng saya pun kirim sms ke beberapa teman. Kenapa lo cinta ma Indonesia?

Hampir semuanya serentak menjawab: identitas. Terlahir, dibesarkan, dan dididik di Indonesia membuat punya ikatan dengan Indonesia. Kesannya terpaksa ya, karena terlahir sebagai warga Indonesia, makanya cinta Indonesia. Tapi engga juga kok.
Kata seorang teman, Eunika, terlahir sebagai orang Indonesia tidak hanya terkait secara fisik, tapi lebih ke arah emosional. Merasa punya tanggung jawab untuk melakukan sesuatu untuk bangsa yang sudah membesarkan kita.


Secara umum, ada juga yang melihat ini sebagai misteri ilahi. Terlahir di Indoensia, membawa kita pada kesadaran, bahwa ada rencana Tuhan yang harus kita emban untuk bangsa ini. Sederhana saja: kalau bukan kita yang bertanggung jawab, siapa lagi yang diharapkan?

Kembali lagi ke Soekarno-Hatta, terasing di luar negeri mungkin bisa menjadi momen penggugah nasionalisme mereka. Christian, adekku, bercerita: mungkin ada energi yang tersembunyi di setiap orang Indonesia yang berhasil di luar. Ada perasaan tetap dianggap sebagai orang asing, walau sehebat apapun di luar negeri sana. Kesadaran bahwa tidak bisa mendeskirpsikan diri dengan jaket asing, membuat mereka bertanya-tanya dan sadar bahwa identitasnya adalah Indoensia.

Aku pun mulai mengenal bangsa ini lebih baik, waktu ikut program di Jerman selama setahun. Kalau aku ditanya kenapa cinta bangsa ini. Mungkin lebih karena ini adalah identitasku. Aku orang Indonesia. Mau sebobrok apapun bangsa ini, aku tetap Indoensia. Sama seperti seorang anak yang tidak bisa memungkiri dirinya anak siapa. Tapi saat mengenal sedikit cerita tentang sejarah bangsa ini lewat karya-karya Pramoedya, aku mulai mengenal bangsa ini sedikit demi sedikit. Bahwa dia tak hanya berisi cerita kebobrokan, tapi berisi mimpi dan harapan suatu bangsa yang besar.

Tapi kenapa banyak yang meninggalkan bangsa ini, justru ketika keadaannya tidak seburuk di era Soe-hatta. Alasannya tentu bisa diperdebatkan lagi. Tapi kalau kita, apa alasan kita mencintai bangsa ini? (TS)

Minggu, 23 Januari 2011

Giving Value Till The End

Pada tanggal 26 des 2010,sepulang dari berjalan kaki pagi dri tempat mkanan (pangsit jumbo siantar...hehe) dengan tante dan kakak perempuanku,
aku melihat kakek atau dalam adat aku panggil "opung" sedang berjalan jalan di tanaman sekitar depan rumah.

Opung melihatku dan mulai memanggil " Tian,coba kamu kesini sebentar ...", aku menyahut sambil menghampirinya " Iya pung,ada apa ?" tidak biasanya opung memanggilku pikirku.
"coba ikuti opung sebentar " akupun berjalan mengikutinya dan tiba-tiba berhenti di depan pohon pepaya.

Lalu opung menunjuk kearah atas,lalu aku terkejut melihat sesuatu hal yang unik atau aneh barangkali didepanku sekarang,pohon ini tidak memiliki dedaunan lagi namun diujungnya ada sebuah pepaya yang sudah matang dan tampak indah walau sendirian..hehe..
   
Namun sungguh,baru kali ini aku melihat pohon seperti ini,barangkali hanya sekali dalam seumur hidupku..ya mungkin saja...Aku berkata : "waaah,hebat ya pung...haha..kok bisa ya ? "
Opung menyahut " Iya,hebatkan...?"
Jadi menurutmu apa yang mau dikatakan pohon ini atau bagaimana menurut kamu akan apa yang kamu lihat ? "

Saat itu aku ingin mengutarakan banyak sekali,namun aku menemukan makna yang cocok,lalu aku menjawab " menurutku,pohon ini mau berbicara kalau dalam kondisi apapun dia akan selalu berbuah " jawabku tegas.
Opung langsung menjawab " tepat sekali,berbuah sampai akhir jadi berbuahlah sampai akhir sama seperti pohon ini tian...haha...hebat.."

Kami berdua melihat beberapa waktu sambil tertawa melihat pohon pepaya yang gundul itu..hehe...
akupun mengabadikannya dengan memfotonya..
sungguh saat2 yang berkenang didalam hidupku.. akan kuingat selalu.. pohon pepaya yang gundul tapi dapat berbuah itu hehe..
Giving Value Till The End.
Semoga bermanfaat bagi pembaca. (cs)

Selasa, 04 Januari 2011

Menjemput Rindu di Senayan

Mataku berkaca-kaca, tak kala mendengar langsung pekik lagu Indonesia Raya dinyanyikan di Gelora Bung Karno pada laga Filipina-Indonesia.
Ada rasa haru yang tiba-tiba menyelimutiku. Sebegitu kuatnya kah rasa rindu akan suatu kebanggaan sebagai Indonesia? Rindu yang kuat untuk mengangkat kepala tegak sambil berkata: “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri, jadi pandu negeriku “.
Yah… rasa bangga sebagai Indonesia tampaknya menguap berlahan-lahan.

Memudar cepat karena penat dan muak menyaksikan drama di pentas media. Mulai dari babak korupsi gayus dan kasus pendomplangan pajak, seri pertikaian buaya dan tikus, hingga akting ulah pongah politisi yang asyik mengumbar image tak karuan layaknya artis.
Rasa bangga semakin tersembunyi, tak kala semua pihak tampaknya cuek saja akan kisah pedih TKI yang terus menerus berulang di tanah orang sana.
Namun, di akhir tahun ini, rasa bangga mendadak terpompa memenuhi seluruh warga Indonesia.
Beramai-ramai, tua muda, perempuan laki-laki, penggila bola maupun penonton biasa, seolah terbius dengan kelihaian tim garuda menumbangkan musuh silih berganti.
Di GBK semangat kebanggaan dan harapan akan Indonesia yang  jaya terlihat sangat nyata di mata para suporter garuda. Tak hirau harus jadi gelandangan sementara di Jakarta, atau ricuh antri tiket, dengan setia tetap menanti laga akhir Indonesia-Malayasia. Mesti sempat tercoreng karena ulah Ical yang menodai euforia bola, para suporter tetap tulus memberi semangat.
Sebab laga Indoanesia-Malaysia bukan sekedar memperlihatkan rasa kesal terhadap ulah Malaysia yang semena-mena selama ini. Tapi lebih lagi, final kali ini sebagai rasa rindu mengecap kebersamaan sebagai Indonesia.
Pada akhirnya tim nasional kita memang kalah. Tetapi rasa bangga terhadap usaha tim garuda ternyata lebih besar dibandingkan rasa kecewa. Seperti kata Bambang Pamungkas: „Kita berhasil, mesti tidak juara, tapi kita menang“
 Tim garuda memperlihatkan bahwa untuk menjadi pandu bangsa, harus berani berjuang habis-habisan. Harus berani maju, walau semua orang sudah memastikan kalah, dan memperlihatkan kalau kita bisa. Kalau kita bermartabat sebagai bangsa.

Dalam pertandingan, akhirnya tak jadi soal kalah menang. Yang  jadi soal adalah sikap suportif dan usaha untuk berjuang sebaik mungkin... (TS)